Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 53 Undang-udang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang telah memberikan kepastian hukum. Putusan tersebut telah sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang menyatakan “Susunan kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan Undang-udang”. Pengertian frasa “diatur dengan Undang-udang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan Undang-udang.
Mengenai kata “diatur dengan”. Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia pengertian “dengan” artinya adalah memakai atau (menggunakan), sedangkan kata “berdasarkan” menurut kamus besar bahasa indonesia artinya adalah memakai sebagai dasar; beralaskan; bersendikan; bersumber pada. Sedangkan apabila dikaitkan dengan kata “diatur dengan undang-undang” hal ini sudah pernah dibahas dalam konteks pengaturan suatu objek yang akan diatur seperti yang telah dijelaskan oleh Prof.Dr.Philipus M.Hadjon,S.H. yang mengatakan bahwa “Disini bukan lagi persoalan bahasa, tetapi perintah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam lampiran Undang-Undang KPK dalam Bab II khusus mengenai pendelegasian wewenang, dikatakan bahwa “kalau ada delegasi dengan kata misalnya bij de wet, maka itu tidak dapat didelegasikan dan harus dengan undang-undang”. Disini secara jelas dan eksplisit dikatakan bahwa kalimat “diatur dengan undang-undang” itu berarti harus dan wajib adanya undang-undang tersendiri yang harus mengatur dan hal itulah yang sampai saat ini dipahami bahwa adanya kalimat diatur dengan undang-undang itu artinya adalah diharuskan adanya aturan undang-undang tersendiri untuk mengaturnya, sehingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pengadilan Tipikor harus diatur dengan Undang-undang tersendiri atau terpisah.
Putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi adalah untuk menghindari dualisme sistem peradilan, sedangkan putusan lanjutan yang menyatakan bahwa pasal 53 Undang-udang Nomor 30 Tahun 2002 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakannya perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada aspek manfaat. hal tersebut dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu : Pertama, akibat hukum kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup dipertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan hukum. Kedua, Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi jangan sampai menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi jangan sampai menimbulkan implikasi melemahnya semangat (dis-insentive) pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat Indonesia. Keempat, Perlu melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan pengadilan khusus yang diperlukan, yang tentunya tidak dapat diselesaikan seketika sehingga dibutuhkan waktu yang cukup. Sehingga akhirnya Mahkamah Konstitusi menyampaikan dalam putusannya:
“.......Menurut Mahkamah pembuat Undang-udang harus segera mungkin melakukan penyelarasan Undang-udang KPK dengan Undang-udang Dasar 1945 dan membentuk Undang-udang tentang Pengadilan Tipikor sebagai Pengadilan khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyakan bertentangan dengan Undang-udang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dihilangkan.....”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah sesuai dengan konsep pembagian kekuasaan trias politicanya Montesquieu karena konsep tata negara melalui pembagian kekuasaan dengan undang-udang baru menurut Montesquieu untuk mencapai demi tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu: Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Dengan dibentuknya Pengadilan Tipikor melalui undang-udang tersendiri, Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan bahwa konsep-konsep tata negara melalui konsep pembagian kekuasaan telah melahirkan konsep undang-udang baru dengan membentuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi dengan tujuan selain untuk kepastian hukum tapi juga agar adanya kontrol dan keseimbangan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
“.......Menurut Mahkamah pembuat Undang-udang harus segera mungkin melakukan penyelarasan Undang-udang KPK dengan Undang-udang Dasar 1945 dan membentuk Undang-udang tentang Pengadilan Tipikor sebagai Pengadilan khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyakan bertentangan dengan Undang-udang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dihilangkan.....”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah sesuai dengan konsep pembagian kekuasaan trias politicanya Montesquieu karena konsep tata negara melalui pembagian kekuasaan dengan undang-udang baru menurut Montesquieu untuk mencapai demi tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu: Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Dengan dibentuknya Pengadilan Tipikor melalui undang-udang tersendiri, Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan bahwa konsep-konsep tata negara melalui konsep pembagian kekuasaan telah melahirkan konsep undang-udang baru dengan membentuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi dengan tujuan selain untuk kepastian hukum tapi juga agar adanya kontrol dan keseimbangan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Waalahua'lam bisshawab.
No comments:
Post a Comment