Apa yang terlintas dipikiran
anda apabila saya tanyakan “Sebutkan
sebuah kata atau kalimat yang mencerminkan tentang Kota Bandar Lampung?” Apakah
Tugu Gajah, Kopi, Durian, Siger, Begal, Kota Tapis, Tanah Lada atau Sai Bumi
Ruwa Jurai?, mana yang paling dominan terlintas dipikiran anda?. Lalu apa yang
terlintas dipikiran anda ketika saya tanyakan hal serupa tentang Kota Bandung,
Jogjakarta, Solo, Pekalongan, Garut, Makassar, atau Jakarta? Macet kah, Batik,
Dodol, Penghasil Kerajinan, rawan konflik dan lain sebaginya. Kemudian Apa yang anda pikirkan ketika saya
tanyakan tentang Amsterdam, Roma, Paris, Kairo, New York, Mekkah, Hiroshima,
Shanghai, Dubai dan lain sebagainya tentu saja pikiran bawah sadar anda akan
secara cepat mengindentikan citra kota (city
branding) tersebut terhadap apa yang ada dibenak anda misalnya
mengindentikkan Kairo kota pelajar dengan Kampus Al Azhar, Paris kota romantis dengan
Menara Eiffel, Mekah tempat ibadah dan ziarah dengan Kakbahnya, Dubai kota
gemerlap dengan bangunan-bangunan pencakar langitnya dan seterusnya. Identiknya
pikiran ada tentang city branding
tersebut tidak lepas dari informasi yang anda dapat sehari-hari baik dari
buku-buku maupun media cetak dan elektronik atau pengalaman langsung anda
ketika berada disana berdasarkan pengetahuan, pengamatan dan pengalaman, semua
akan cepat anda jawab dalam hanya hitungan detik.
Sebuah citra kota (city
branding) umumnya terbentuk secara alamiah dan dalam jangka waktu yang
panjang (evolutif) berdasar berbagai
faktor yang menyertai tumbuh kembangnya sebuah kota. Peristiwa bersejarah yang
pernah terjadi atau sebuah fungsi yang sangat signifikan yang melekat pada kota
biasanya menjadi faktor utama pembentuk citra Kota. Namun demikian, tidak
berarti upaya membangun atau memperkuat citra sebuah kota semata mata
bergantung pada takdir sejarah. (Bani Noor Muchamad, Konsep Ekspresi Kota Sebagai Pendekatan Membangun Atau
Memperkuat Citra Kota). Berdasarkan pengertian city branding di atas, proses pembentukan citra sebuah kota
memerlukan waktu yang relatif panjang baik dari sisi faktor latar belakang
sejarah maupun secara alami yang didukung oleh faktor-faktor pada saat berkembangnya
sebuah kota.
Membangun citra sebuah kota
tidak hanya semata-mata membangun dari segi fisik seperti membangun lambang
kota dengan proyek-proyek mercusuar atau dengan semboyan-semboyan indah. Membangun
citra kota adalah dengan cara membangun semangat, fisik, ruh dan mental kota, isi
kota dan apa saja yang ada dan terlibat di dalamnya. Membangun citra sebuah
kota tidak cukup sekedar membangun Tugu, Patung atau mempopulerkan semboyan-semboyan
indah, bagus, agamis dan lain sebagainya seperti contoh: Bertapis, Berseri,
Beriman, Bertaqwa, Berjaya, dan lain-lain. Patung.. Tugu.. kata-kata atau
slogan indah secara teori namun kosong “ruh budaya sejarah” dan hampa realisasi
hanya akan menjadi “sampah” jalanan saja.
Bandar Lampung bukanlah kota
yang baru berdiri, usianya sudah ratusan tahun. Tahun ini Kota Bandar Lampung
akan memasuki usianya yang ke 333 (17 Juni 1682- 17 Juni 2015) bukan usia kota
yang dibilang Baru, usianya telah melampaui usia Republik ini, jauh sebelum
merdeka kota ini telah bergeliat menjadi bagian dari jalur perdagangan hasil
perkebunan rempah-rempah, pertumbuhan ekonomi, tumbuh dan berkembangnya
akulturasi budaya, daerah tujuan transmigran, tujuan wisata dan daerah transit,
persinggahan, pertemuan, pulau Sumatera yang terdekat dengan pulau Jawa, sangat
strategis yang kedepan peluangnya sangat besar untuk menjadi kota Metropolitan
baru penyangga ring satu kota Jakarta yang sudah mulai “renta” dan penuh sesak.
Untuk satu dekade kedepan, apabila
dibandingkan dengan kota-kota lain di pulau Sumatera, kota Bandar Lampung mempunyai
prospek yang paling cerah dari segi pembangunan, laju pertumbuhan ekonomi,
sektor pendidikan dan pertumbuhan usaha. Bersamaan dengan itu lambat laun
Bandar Lampung akan menjadi sorotan tersendiri bagi investor dan pihak luar
tentang Kota ini, sehingga dengan tanpa menghilangkan cita rasa dan ciri khas
lokal Lampung itu sendiri city branding
kota Bandar Lampung wajib dibentuk dan dipoles sedemikian rupa.
Pencitraan sebuah kota perlu
dilakukan secara fokus, terarah dan hendaknya konsep city branding tidak memulai dari nol atau dari awal, akan tetapi
dengan meneruskan citra yang pernah atau sudah ada yang telah menjadi ciri khas
dari sebuah kota tersebut. Blue Print
pembangunan Kota harus dibuat, atau apabila memang sudah ada harus ada
implementasi blue print tersebut secara terarah, terencana, konsisten, dan berkesinambungan. Jalan lain untuk membangun city branding adalah dengan cara
mengikis citra negatif kota, seperti macet, kotor, kumuh, banyak sampah, banyak
gelandangan pengemis, kota yang tidak aman dan citra-citra negatif lain melalui
cara-cara yang terprogram, terukur, dan terus-menerus. Perencanaan sebuah kota harus juga ditunjang
dengan citra atau brand
sebagai kekhasan sebuah kota yang bertujuan di samping meningkatkan nilai jual
tetapi juga menjadi daya tarik dalam merebut sumber daya potensial sehingga
pada gilirannya nanti diharapkan mampu menggerakkan perkembangan kota itu
sendiri, baik dari segi pergerakan ekonomi, budaya, sektor pariwisata dan lain sebagainya.
Pencitraan sebuah kota perlu
dilakukan secara terus menerus, kontinyu, berkesinambungan, sistematis dan
massif. Pencitraan Kota perlu sebuah
proses yang bertahap, berjangka panjang, komprehensif, dan membutuhkan
konsistensi dalam penerapannya. Jadi bukan sebuah ikhtiar yang sporadis dan
musiman belaka. Meskipun begitu harus diingat pula bahwa langkah mewujudkan city branding harus tetap
realistis dan membumi.
Akhirnya, semoga saja
kedepan siapapun pemimpinnya bisa dengan jeli melihat potensi yang ada, Kota
Bandar Lampung memiliki city branding
yang khas dan mengena bagi siapa saja yang berkunjung ke Kota ini, Kota yang bisa
menjadi Kota Modern dengan tidak mengesampingkan kearifan lokal yang sudah
ratusan tahun ada padanya. Aamiin.
Salam. Tabik pun
No comments:
Post a Comment