Sejak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada
bulan Desember 2003 berdasarkan amanah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bersama-sama dengan penegak hukum lainnya
yaitu kepolisian dan kejaksaan hingga saat ini perkara tindak pidana korupsi
nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Korupsi terus berlajut
mulai dari tingkat pegawai terendah, hingga Kepala Dinas, Bupati, Gubernur,
Anggota DPR, Menteri, sampai ke penegak Hukum seperti Hakim, Polisi, Jaksa, dan
Panitera. Untuk tahun 2016 saja KPK telah melakukan operasi tangkap tangan
(OTT) sebanyak 17 kali atau OTT terbanyak sepanjang sejarah berdirinya KPK,
selain itu berdasarkan pemetaan kasus korupsi di Indonesia periode Januari
hingga Juni 2016 saja sebayak 210 kasus korupsi ditangani oleh penegak hukum
dan 500 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Sepanjang semester I tahun
2016 saja, aparat penegak hukum berhasil menaikkan status kasus dari
penyelidikan ke penyidikan sebanyak 210 kasus di mana kerugian negara mencapai
Rp 890,5 miliar dan suap Rp 28 miliar, SGD 1,6 juta, dan USD 72 ribu. Kejaksaan menangani 133 perkara, kepolisian
59 perkara, dan KPK 18 perkara. Kejaksaan menangani kasus dengan jumlah
kerugian negara Rp 473 miliar dan suap Rp 14 juta. Kepolisian menangani 59
kasus korupsi yang timbulkan kerugian negara Rp 252,2 miliar. Sementara itu KPK
menangani 18 kasus yang menimbulkan kerugian negara Rp 164 miliar dan nilai
suap Rp 28 miliar, SGD 1,6 juta, dan USD 72 ribu. Itu baru kasus tahun 2016
saja, bagaimana bila kasus korupsi dijumlahkan dari tahun 2000 sampai tahun
2017 total ada ribuan kasus mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, hingga eksekusi belum lagi dengan kasus-kasus korupsi yang belum
tertangani oleh penegak hukum.
Berkaca pada kasus di
atas nampaknya korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit yang sangat kronis
bahkan mengerikan, upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan oleh
kepolisian, kejaksaan, dan KPK bagaikan memotong rumput seluas segunung belum
selesai pekerjaan rumput dibelakang yang baru selesai dipotong telah tumbuh rumput
kembali. Maka, sudah sepatutnya memang tugas mencegah dan memberantas korupsi
bukan hanya tugas pemerintah dan penegak hukum semata, peran serta masyarakat
disemua elemen harus bekerjasama bahu membahu secara sistematis, terstruktur, dan
berkesinambungan perlu untuk memerangi, mencegah dan memberantas korupsi.
Terkait dengan upaya
pencegahan korupsi bisa dimulai dari keluarga dan komponen masyarakat tertentu
seperti masyarakat adat. Di dalam masyarakat, adat yang berasal dari bahasa
arab yaitu kata“adah” yang artinya
kebiasaan-kebiasan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai positif dan merupakan
warisan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang menjadi budaya hukum
dalam masyarakat sejak lama.
Adat
dan Budaya Sebagai Identitas
Bagi masyarakat adat
Lampung, ada falsafah hidup yang telah mendarah daging, tumbuh dan berkembang lama
bersama masyarakat sehingga menjadi identitas dan ciri orang lampung, falsafah
hidup itu adalah Piil Pesenggiri. Falsafah hidup orang lampung tentang Piil
telah menjadi budaya hukum adat masyarakat dan telah menjadi asas dan norma
sehingga budaya malu dalam melakukan perbuatan tercela seperti : korupsi,
mencuri, berzina, atau melakukan perbuatan tercela lainnya akan mengakibatkan
turunnya nilai kehormatan bagi diri
pelaku dan keluarganya. Karena dalam prinsip Piil Pesenggiri bahwa harta dan
uang bisa dicari dan dibeli akan tetapi harga diri, kehormatan, marwah, dan
moralitas yang terjaga jauh lebih bernilai daripada harta dan uang. Piil
Pesenggiri sebagai lambang kehormatan harus dapat dipertahankan dan dijiwai
sesuai dengan kebesaran Juluk-Adek yang disandang, perilaku nemui nyimah,
nengah nyappur, dan sakai sambaiyan dalam tatanan norma Titie Gemattei atau
Tata titi adat.
Piil Pesenggiri adalah
warisan nenek moyang orang lampung sebagai acuan moral memberikan pedoman bagi
perilaku pribadi dan masyarakat adat Lampung sejak zaman dahulu hingga saat ini
bagi yang masih benar-benar memegang teguh titie gemattei adat sehingga
tercermin dalam perilaku, moral, akhlak, dan etika dalam pergaulan hidup
sehari-hari.
Dalam
masyarakat adat Lampung budaya bebasuh (membersihkan diri) dari perbuatan
Cempala/Cempalo (melanggar adat) hukumnya wajib bagi orang yang ingin terlibat
dan dilibatkan dalam masyarakat budaya adat, karena bagi orang yang melakukan
cempala tanpa bebasuh maka sampai kapanpun ia tidak akan diterima dalam setiap
pelaksanaan prosesi adat oleh karena ia telah memiliki cacat karena telah
melakukan pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh hukum adat, sehingga bagi
orang yang melanggar adat selain mendapatkan sanksi pidana adat juga
mendapatkan sanksi sosial langsung dari masyarakat. Mestinya memang makna “keterlibatan” harus
diperluas tidak hanya dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat adat saja namun
dalam ruang lingkup sosial yang lebih luas lagi, sehingga efek sanksi dari apa
yang telah dilanggar memiliki konsekuensi langsung bagi pelaku dan apabila
pelaku suatu saat berkeingan untuk mendapatkan kedudukan terhormat dalam suatu
lembaga baik pada posisi eksekutif, di legislatif, maupun lembaga lainnya ia
tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan jalan bebasuh tadi yaitu pelaku telah
menyelesaikan perkara-perkara yang pernah ia lakukan baik secara hukum positif
maupun hukum adat.
Peran Adat
Budaya Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Usaha
dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Pemerintah
sebenarnya sudah sangat kuat, itu tampak dalam pembentukan undang-undang
tentang ketentuan dan peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat ini dilatar belakangi oleh
pandangan bahwa dengan diberikannya hak dan kewajiban masyarakat dalam usaha
pencegahan korupsi dipandang sebagai hal yang sangat membantu sekaligus sebagai
hal positif dalam upaya pencegahan korupsi, selain itu persoalan penanggulangan
korupsi di Indonesia bukan semata-mata menjadi urusan pemerintah atau para
penegak hukum semata melainkan merupakan persoalan semua rakyat dan urusan bangsa.
Unsur-unsur normatif
dari kebudayaan adalah unsur yang menyangkut penilaian (valuational elements) seperti apa yang baik dan buruk, unsur yang
berhubungan dengan apa yang seharusnya (prescriptive
elements) bagaimana orang harus berperilaku, dan unsur menyangkut
kepercayaan (cognitive elements)
seperti harus melakukan upacara adat saat kelahiran, pernikahan, dll. (Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar: hal 163, 1986). Falsafah hidup Piil
Pesenggiri merupakan unsur dari kebudayaan masyarakat adat Lampung yang muncul
kemudian hidup berkembang ditengah masyarakat dimana unsur-unsur normatif yang
telah disebutkan diatas secara keseluruhan telah terpenuhi.
Lebih lanjut Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa adat akan menjadi hukum apabila terpenuhinya 3
syarat, yaitu : pertama, adanya
sanksi bagi yang melanggar. Kedua,
adanya pengakuan baik dari tokoh atau masyarakat adat terhadap adat tersebut,
dan ketiga, bersifat mengikat
sehingga masyarakat meyakini adanya keharusan yang harus dilaksanakan. Piil
telah menjadi hukum adat (non statuier) karena telah memenuhi 3 unsur dalam
persyaratan hukum adat tersebut yakni orang yang melanggar Piil Pesenggiri akan
mendapatkan sanksi berupa sanksi sosial, dimana sanksi tersebut secara massal
diakui oleh masyarakat (dalam hal ini masyarakat adat) dan bersifat mengikat
karena masyarakat meyakini adanya keharusan yang harus dilaksanakan.
Terkait dengan budaya
hukum legal culture yang pertama kali
diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman sebagai salah satu unsur dari apa yang
disebut sistem hukum. Budaya hukum diartikan oleh Friedman sebagai nilai-nilai
dan sikap-sikap anggota masyarakat yang bertalian dengan hukum. Adapun karakter
khas dari hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, senantiasa
mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis anggota masyarakat,
senantiasa mempertimbangkan perasaan hukum, keadilan, dibentuk dan diberlakukan
oleh masyarakat tempat hukum itu hendak diberlakukan dan pembentukan hukum
terjadi lebih merupakan proses kebiasaan.
Kaitan yang erat
antara hukum dan nilai-nilai budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang
baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup sejak
lama, berjalan, diterima dalam masyarakat, dan menjadi pedoman dalam
berperilaku, bersikap, bertindak bagi siapa saja yang melanggarnya akan
mendapatkan sanksi.
Perilaku
cempala yang diperluas maknanya berupa perbuatan-perbuatan tercela seperti
mencuri, merampok, korupsi, penyalahgunaan narkoba, berzina, dll, Karena
perilaku tercela tersebut diatas sepatutnya memang telah menjatuhkan wibawa,
martabat, dan kehormatan seseorang apabila orang tersebut melakukannya,
sehingga makna Piil secara luas tentang menjaga nama baik, marwah, integritas
diri, dan kehormatan keluarga bagi masyarakat Lampung adalah sebuah kewajiban
yang harus selalu dipegang teguh.
Sudahlah
sepatutnya seorang pejabat publik yang memiliki kedudukan terhormat pada
jabatan publik baik dilembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif ketika
namanya selalu disangkutpautkan dengan perkara baik moral maupun tindak pidana
memiliki rasa malu dan tahu diri sehingga mengambil langkah untuk mengundurkan
diri, meletakkan jabatannya menyerahkan kepada orang lain yang lebih kompeten
dan bersih jauh dari masalah-masalah hukum.
Falsafah
hidup orang Lampung tentang Piil Pesenggiri adalah salah satu bentuk kearifan
lokal atau lebih dikenal dengan sebutan local
wisdom yang dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal
budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Ciri kearifan lokal yang berporos
pada proses sebuah kebaikan ketimbang aplikasi semata menjadikannya sangat jauh
dari hal yang instan sehingga menjadi cermin budaya bagi masyarakat, menjadi
akar dalam pedoman kehidupan yang turun temurun dan menjadi warisan bangsa.
Namun
kini tidak seperti dahulu zaman kian berubah, era globalisasi dan modernisasi
memasuki semua negara termasuk indonesia, budaya lokal mulai kian tergerus
arus. Masyarakat muda yang diharapkan menjadi penerus warisan bangsa terlihat
acuh tak acuh, seperti tidak adanya kepedulian dalam pelestarian budaya
tersebut.
Tidak
berlebihan jika budaya modern banyak menciptakan kerugian-kerugian terutama
pada hal yang bersifat normatif dalam hal budaya lokal seperti cara
berperilaku, makanan-makanan instan, dan gaya hidup yang berporos pada budaya
barat, bahkan ideologi berpikir kesenangan semata (hedonisme) sering terlihat
dalam ruang lingkup sosial. Hingga kini, tak terkira berapa banyak kearifan
lokal yang tersingkir. Bukan hanya secara fisik, berbagai suku terpinggirkan
dari wilayahnya, namun juga mulai lenyapnya nilai-nilai luhur yang sebelumnya
banyak diakui sebagai kekayaan negeri ini.
Lampung
yang memiliki falsafah hidup Piil Pesenggiri semestinya bisa menunjukkan dan
menjadi contoh dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia
karena budaya Piil adalah budaya lokal yang sudah mengakar dan mendarah daging
pada masyarakat Lampung terutama yang masih memegang teguh prinsip falsafah hidup
orang Lampung. Falsafah hidup Piil Pesenggiri bisa dimasukkan dalam materi dan
nilai-nilai mata pelajaran anti korupsi di sekolah mulai dari sekolah dasar,
sehingga nilai Piil Pesenggiri sudah diketahui sejak dini. Jangan sampai salah
satu bentuk kearifan lokal masyarakat lampung ini lambat sedikit demi sedikit
hilang ditelan oleh pesatnya perkembangan zaman di era globalisasi dan
modernisasi dimana suatu saat dunia tidak akan ada lagi sekat, sehingga setiap
orang harus berpegang teguh pada jati dirinya masing-masing sebab bila tidak
bersiaplah ia hanyut terombang ambing oleh derasnya perkembangan zaman .
Waalahualam bisshawab
*Dimuat di Lampung Tumbai Lampost, Ahad tgl 7, 14, dan 21 Mei 2017
No comments:
Post a Comment