Lada merupakan salah satu rempah-rempah,
selain pala dan cengkeh, yang menarik minat para Penjajah Bangsa Portugis dan
Belanda.
Lampung adalah LUMBUNG PENGHASIL LADA
HITAM. Kita tidak memproduksi lada putih, karena prosesnya rumit, harus
direndam beberapa hari, digilas kulitnya, lalu dijemur. Sedangkan produksi
melimpah.
Ketika Panen Raya tahun 1960, 'Buya'
saya bisa menghasilkan (6 ton hasil bersih) dari 4000 pohon lada. Diluar ongkos
'kuli petik' (Rp 5,-/kaleng minyak tanah), plus biaya makan-minum mereka selama
lebih dari 1 bulan, yang dibiayai dengan menjual sebagian hasil panen.
Adapun pekerja petik, umumnya berasal dari daerah Rangkas Bitung, Banten.
Kenapa (Panen Raya) tahun 1960?. Hal ini
berkaitan dengan peralihan sistem Pemerintahan pada masa awal Kemerdekaan, yang
juga didahului JAMAN JEPANG (1942-1945), sehingga petani memilih
meninggalkan kebun lada, dan pulang ke kampung masing- masing, hingga Periode
Revolusi Kemerdekaan (1947-1949).
Berakhirnya Kekuasaan Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda membuat NEGARA TULANGBAWANG yang merupakan PUSAT
PEMERINTAHAN MARGA BUNGAMAYANG kehilangan fungsinya.
Ke-PESIRAHAN Marga Bungamayang
berubah menjadi KECAMATAN NEGARA RATU-KETAPANG yang berkedudukan Di KETAPANG
Lampung Utara. Walaupun kemudian pada tahun 1960, Ke-PESIRAHAN MARGA,
berubah menjadi KEPALA NEGERI.
Masa peralihan ini berimbas EKSODUS
MASSAL, khususnya 'Tiyuh' (Kampung) Negara Tulangbawang.
Pada awal tahun 1950-an 90% penduduknya
berpindah. Sebagian pindah ke kota menjadi Pegawai Negeri, bagian terbanyak
kembali ke 'Sumpu' (Dusun Pedalaman) untuk kembali berkebun lada.
Rumah-rumah panggung yang dibangun dari
HASIL BERKEBUN LADA oleh Orang Tua bahkan Kakek mereka, ditinggal tanpa
penghuni. Hal serupa juga terjadi pada Tiyuh Tanahabang, Kutanapal, Kutanegara,
Negarabatin, Sukadana, hingga Banjar Negeri. Tetapi yang paling tragis Tiyuh
Negara Tulangbawang.
Ditinggal bertahun-tahun tanpa penghuni,
berakibat satu-persatu rumah roboh beserta isinya berupa; Lemari, ranjang besi,
meja-kursi, yang semuanya dibeli dari perahu Pedagang dari Menggala pada ZAMAN
BAHARI. Ditinggal atau dititipkan pada kerabat, karena angkutan hanya
menggunakan gerobak kerbau. Padahal hanya berjarak sekitar 15 km dari Ketapang
yang sudah ada transportasi Kereta Api.
Hiruk-pikuk suasana DEKADE AWAL
KEMERDEKAAN, juga diramaikan minat menjadi PEGAWAI NEGERI. Hal ini yang saya
ungkap dalam Syair Lagu "SARJANA TUKUN".. 'Tigoh Jaman Mardika,
ranglaya mulay lapang. Bugabor ngunut cara, kuhalangni ngumagang'. (Datangnya
jaman merdeka, membuka kesempatan. Berebut dengan berbagai cara, antara lain
bekerja magang). SURAT KETERANGAN PERNAH MAGANG merupakan 'Katabelece' syarat
menjadi Pegawai Negeri..hehe..
Kembali berkebun lada pada tahun 1953
mulai berbuah pada tahun 1959 Panen (Selang) yang merupakan tambahan rejeki,
dan pada tahun (1960) adalah PANEN RAYA, (seperti saya kemukakan di awal tulisan).
Saya mencatat harga lada pun lumayan
tinggi: Rp 20,- /kg. Rp 2000,- / 'pikul' (100kg - setara harga sebuah
sepeda).
Hal ini mengubah wajah KETAPANG yang
semula hanya sekian puluh rumah. Mereka berbondong-bondong membeli (Rumah
Barak), yang berdinding papan dan beratap genteng. Selain itu semakin banyak
warga pendatang dari Pulau Jawa, yang merupakan Transmigrasi Lokal dari
(Rumbia) Lampung Tengah.
Mereka berdagang keliling hingga ke
kebun lada. Menjajakan bahan pokok hingga roti dan kue, yang di (barter) dengan
lada per 'canting' (kaleng susu).
Salah satu pedagang bernama Pak Sarjono
(Ayahanda dari DR. Suwondo), yang kemudian menjadi pedagang sukses.
Pada tahun 1960 pula, diadakan
'KALANGAN'
(Pasar Pekan) setiap hari Rabu.
Berlokasi di jalan menuju Tella (Simpang Karang Rejo), serta sepanjang halaman
rumah yang menghadap Rel Kereta Api.
Pada tahun 1975 diadakan pasar
'KALANGAN' lain pada setiap Hari Minggu. Berlokasi di Tiyuh Kuta Agung, yang di
'Banton' (Diresmikan sebagai Tiyuh Adat) pada tahung 1968.
Pada tahun 1977, Keluarga Raja
Temunggung MENGHIBAHKAN tanah kepada Penduduk Pendatang; Masing-masing seluas
0.5 Hektar/Kepala Keluarga.
Catatan ini buat Cucu-cucu saya,
walaupun saya yakin hanya dipahami oleh mereka yang berusia diatas 60
tahun.
Tulisan saya kali ini agak 'Ekslusif'
tentang Sungkay Bungamayang. Namun intinya adalah pesan saya kepada anak
kemenakan serta cucu-cucu di seluruh Lampung.
Hal terpenting adalah bagaimana upaya
kita menyiasati, memberdayakan kehidupan (kreatif). Banyak hal yang pantas kita
tiru dari saudara-saudara kita (Warga pendatang). Manfaatkan setiap jengkal
lahan. Tidak ada upaya yang sia-sia, jika kita menanam, pasti akan
memanen.
Tebing 'riling' (pinggir kali), jadikan
tanaman segala jenis bambu; (Bambu betung Krui) yang berdiameter besar, (bambu
Bogor), yang sebesar lengan dengan lubang hanya sebesar jempol. Semua bisa
didatangkan bibitnya. Terlebih lagi hulu-tulung, dengan ditanam bambu akarnya
akan menahan air hujan, sehingga melestarikan 'Hilian' sumber air kita.
Sekarang transportasi lancar, semua ada nilai ekonominya. Bukan hanya lada,
kopi dan karet seperti setengah abad yang lalu.
CATATAN KHUSUS BERKEBUN LADA
Lada adalah tanaman tropis, yang tidak
memerlukan pohon pelindung. Sejak dulu kita mengetahui orang Bangka Belitung
menggunakan 'galih' (batang terendam). sebagai 'langkatan' karena
kebun lada mereka tidak seluas kita. Mereka hanya memproduksi lada putih. Saya
melihat kebun lada mereka, karena anak saya 3 tahun bertugas di
Bangka-Belitung. Sedangkan kita ada yang sampai puluhan ribu pohon. Seperti
Suntan Bala Seribu Gunung Betawi, Ayahanda H. Syaridin dan Kailani yang saya
kenal dekat. Setiap kali Kailani kembali dari Jakarta, saya selalu 'nongkrong'
dirumah beliau di Ketapang. Mendengarkan lagu-lagu Pop Barat lewat Piringan
Hitam koleksi Kailani. Bersama 'Nein' (Zulkarnain, putera Camat Qoyyum), yang
selalu 'ngintil' ikut Kailani. Nein juga sering kerumah saya, karena saya punya
gitar dan juga sama-sama Hobi Nge-Band. Di Jakarta pun Nein datang, ketika saya
baru punya satu Puteri 1975. Itulah kenangan 'Indah' bersama Kailani dan
Zulkarnain tahun 1967/1969.
Kembali ke pokok masalah..
Nenek moyang kita lebih bijak. Mereka
memilih 'cekering keruwi' (dadap berduri) sebagai tiang rambatan. Daunnya tidak
rimbun dan setiap akhir musim kemarau dipotong 'disirang'. Dengan rambatan
pohon 'cekering', lada akan tumbuh subur, banyak cabangnya (balak jimbungni).
Saya rasa masih ada pohon cekering walaupun berbeda jenisnya.
Jika menggunakan 'langkatan' (kayu
pupuk/angsana), harus lebih rajin membuang tunasnya ketika masih kecil. Oleh
sebab itu pohon 'langkatan' cukup 3 meter tingginya.
Buang tunas dengan lading penyadap. Yang
penting lada bisa tumbuh subur karena mendapat sinar matahari. Jangan dibiarkan
daun kayu pupuk SAMPAI SEPERTI HUTAN. Walaupun pohon lada setinggi 5 meter
tetapi tidak produktif, buahnya kurus (kurak) karena kurang sinar
matahari.
Hal lain yang (sangat keliru), adalah
menyemprot rumput dengan pestisida. RUMPUT MEMANG MATI. Tetapi lada kena
efeknya yang juga berakibat lada menjadi tidak produktif. Sementara yang
tinggal tanah merah, karena humusnya habis tergerus air ketika hujan..
Weleh-weleeh!..
Padahal Dinas Pertanian menyarankan
kebun lada ditanam rumput kacangan, yang bermanfaat menyimpan embun, dan
daunnya yang rontok menjadi pupuk.
Mau lebih kreatif lagi?.. Pelihara
kambing. Daun rumput kacangan dipotong secara berkala untuk pakan kambing, dan
kotoran kambing untuk pupuk lada.. Lahan kebun lada tidak harus bersih dari
rumput. Pengalaman saya ketika 'Mutil lada rubuh dilulup liyoh' (Memetik buah
lada yang roboh ditutupi ilalang).. Malah buahnya lebat dan bijinya
besar-besar. Inilah yang saya maksudkan (menyiasati). Belajar pada pengalaman.
Bukankah pengalaman adalah guru NUMERO UNO..kata iklan..
Saya yakin, mustahil cuma saya yang
pernah 'Mutil lada rubuh dilulup liyoh'.. Ini membuktikan bahwa tanaman lada
TIDAK TAKUT PADA RUMPUT.
Saya mohon ma'af kalau tulisan ini terkesan
"NAWAYKO BUHHA LANGUY" (Mengajar buaya berenang). Karena saya tidak
sempat berkebun lada, tetapi saya tidak awam dengan pekerjaan tani seperti
(ngegettas pari, ngejuku', nyadap karet, ngusi dll), semua sudah pernah saya
lakukan.
SARAN BERKEBUN LADA
Langkatan terbaik adalah 'cekering',
langsung ditanam 'jelor' (bibit). Kalau langkatan kayu pupuk/angsana cukup
setinggi 3 meter ketika (caka' ja' mejjong). Buang sendiri tunasnya setiap
bulan dengan lading penyadap.
Jika terlanjur besar, biaya upah
'nyirang' akan besar pula. Lahan ditanam rumput kacangan, atau biarkan ada
rumput liar sebatas 10 cm tingginya, karena bermanfaat menyimpan embun dan
mencegah penggerusan tanah karena umumnya lahan kebun lada tidak datar. Cukup
disabit/dikusi saja.
SARAN TERAKHIR DAN TERPENTING. Sesuaikan
baris pohon lada (pemelang) dengan arah sinar matahari pagi. Jarak 'tanjing'
(antar pohon) 1.80 - 2 meter, supaya kebun lada mendapat sinar matahari secara
merata. Bukankah semua mahluk hidup butuh sinar matahari?. Tidak perlu
mengutamakan banyaknya 'tanjing' pohon lada, yang terpenting adalah
kualitasnya..
Sebenarnya pemikiran saya tentang
masalah lada sudah sejak tahun 1998 hingga tahun 2010, ketika menelusuri
Umbul-umbul dalam rangka mengurus berbagai masalah tanah milik H. Badrul Hadi
kakanda saya. Hanya tidak mungkin saya sampaikan secara runtun, kegelisahan
saya melihat kebun lada (seperti rimba). Alhamdulillah sekarang ada medianya.
Pesan saya kepada semua pekebun lada. Tolong tanyakan pada PENYULUH PERTANIAN;
Adakah hal yang perlu disempurnakan?. Masalah Pemupukan misalnya!..
GANTA RAM HANDA' MATA ngenah kebun lada
hulun Kalimantan, Sulawesi bahkan Cameroon Afrika. Kalau di awal ada kalimat
Lampung merupakan LUMBUNG PENGHASIL LADA HITAM, maka nama-nama Umbul yang saya
sebut pada akhir tulisan ADALAH GUDANGNYA.
Saya mohon ma'af jika tulisan saya kali
ini ternyata lebih 'Ekslusif' saya tujukan buat anak kemenakan laju di unyin
umpu.. Mintar ja' Tulung Paruh sampay Gunung Ma'nibay.. Ja' Kungki tigoh di
Kertapati.. Ja' Batu Nangkop tigoh Deriyan Nunggal.. Ja' Pompon tigoh Tulung
Cerahcah..
Ku kilu di unyin umpu, dang lupa ILIS
NINI' PUYANG. LAJUKO BEKEBUN LADA.. Dang sampay Lagu 'Tanoh Lada' berubah judul
jadi "TANOH KIKIM".
Wallahu'alam Bisshawwab..
Fath Syahbudin.
No comments:
Post a Comment